Wednesday, December 17, 2008

Ibu pernah memintaku membersihkan lantai sesaat
setelah aku menumpahkan bubur saat sarapan pagi. Tapi,
bukan sapu atau kain lap pel yang kuambil ke belakang,
karena aku malah berlari keluar melalaui pintu
belakang untuk menyusul teman-teman bermain. Hal yang
hampir sama juga kulakukan, saat ibu berharap aku
menyapu halaman bekas aku dan teman-teman bermain dan
mengotori halaman dengan sobekan kertas. Meski
beberapa teman melirikkan matanya agar aku segera
menuruti ibu, tapi yang kulakukan justru tak
menggubris perintahnya dan selekas mungkin mengajak
teman-teman bermain di tempat lain.

Pernah satu kali, ibu memanggilku saat aku belajar.
Dengan alasan "sedang belajar" aku tak mengindahkan
panggilannya, meski entah sudah hitungan keberapa
namaku disebutnya. Dan jika, dalam kondisi tak sabar
setelah berkali-kali aku tak juga menyahut, ibu
menghampiri ke kamarku, segera aku berpura-pura
tertidur dengan buku yang masih dalam dekapan. Itu
kulakukan, karena aku malas keluar rumah untuk
membelikan barang belanjaan ibu di warung depan gang
yang hanya berjarak tidak lebih 20 meter.

Diwaktu lain, ibu berpesan agar aku segera pulang
setelah pulang sekolah. Namun seperti biasa, aku
selalu mampir ke tempat-tempat biasa aku bermain, dan
mengatakan kepada ibu bahwa terlalu banyak aktifitas
di sekolah yang harus aku ikuti, demi memperkaya
pengalaman dan ketrampilan. Sesekali, aku juga
mengelabui ibu dengan tuntutan uang ini-itu dari
sekolah yang wajib dibayar selain uang SPP. Kupikir,
mungkin ibuku bodoh sehingga selalu mempercayai setiap
permintaan uang tersebut yang sesungguhnya selalu
kugunakan untuk mentraktir teman-temanku, sekedar
untuk menunjukkan kelas sosial dan 'sogokan' agar aku
bisa diterima oleh teman-teman. Meski setelah itu
kuketahui, bahwa tidak jarang ibu berhutang untuk
menutupi semua 'biaya' itu berharap agar aku bisa
menjadi anak yang cerdas, trampil dan bisa diandalkan,
aku masih tetap tak menyesal.

Disuatu hari minggu, saat aku tak sekolah, dan tak ada
kegiatan apapun diluar rumah. Ibu memintaku
mengantarkannya ke pasar karena hari itu akan ada
acara keluarga di rumah, yang karena itu ibu harus
belanja lebih banyak dari biasanya. Segera otakku
berputar mencari-cari alasan agar aku bisa "bebas"
dari tanggungjawab itu. Akhirnya, kuberbohong kepada
ibu dengan mengatakan bahwa di sekolah ada kegiatan
ekstrakurikuler yang "wajib" diikuti oleh semua siswa.
Niat berangkat ke sekolah, aku justru nongkrong di
Mall, bertemu dengan teman-teman sepermainanku yang
-bisa jadi- kebanyakan juga lari dari tanggungjawab
membantu orang tua di hari libur.

Kemarin, ibu berharap aku mau membantunya melakukan
beberapa pekerjaan rumah yang lumayan berat karena ibu
saat itu tak sanggup melakukan semuanya. Ibuku tengah
sakit. Tapi aku malah tak mempedulikannya, karena
kupikir tak semestinya aku melakukan semua tugas rumah
tangga itu. Akhirnya, dalam keadaan sakit, dengan
nafas yang tersengal, ibu sendiri yang mengerjakannya,
sementara aku tetap asik dengan urusan dan mainanku.

Hari ini, ada sekuntum bunga persembahan dariku yang
pasti tak ada harganya dari semua pengorbanan ibu. Tak
membalas semua cintanya, tak membayar jerihnya, tak
menghilangkan semua luka dan kecewanya, tak
meringankan bebannya, tak menghentikan tangisnya, tak
membasuh setitikpun peluhnya, bahkan tak menyembuhkan
sakitnya, apalagi mengembalikan ibu kepadaku. Karena
ibu, yang penuh cinta dan kasih terhadap anaknya ini,
kini terbujur lurus dihadapanku. Kupikir, karena aku
tak mencintainya dengan segala perilaku burukku
terhadap ibu, Allah lebih mencintainya dan
mengambilnya dariku. Maafkan aku ibu. Kuharap ibu
tahu, bunga cintaku tak pernah luruh. Wallahu 'a'lam
bishshowaab (Bayu Gautama, Untuk seorang sahabat,
kuyakin ia melihatmu menangis)

No comments: